SURAH MARYAM
Oleh: Hadi Purwanto
Tetesan Air mata tidak berhenti mengalir
dari pelupuk mata istriku. Tanpa kata ia
masih memandangi satu persatu fhoto di album perkawinan kami lima tahun silam.
Dengan tangan gemetar ia membolak balikkan album perkawinan kami. Pelan.
“sayang,…ada apa?” tanyaku sambil mengusap
punggung istriku. Ia masih diam. “Jangan terlalu dipikirkan” sambungku lagi
mencoba menenangkan.
Aku tau apa yang sedang dirasakan istriku
sekarang. Kesedihan, iri, takut dan mungkin juga rasa bersalah. Sedih karena
sampai sekarang kami belum dikarunia seorang anak. Iri melihat teman-temannya
yang bahagia menimang buah hati. Takut jikalau dia mempunyai penyakit yang
bersarang di rahimnya. Dan rasa bersalah karena sampai saat ini belum
memberikan anak kepada ku.
Padahal kami sudah menikah lima tahun yang
lalu dan selama itu pula kami tidak pernah menggunakan alat kontrasepsi untuk
mencegah kehamilan. Bahkan dokter spesialis kandunganpun mengatakan bahwa kami
berdua normal-normal saja. Namun inilah kehendak Tuhan, sampai sekarang kami
belum diberi momongan.
“Apa ada yang salah dari kita ya?” Tanya Istriku
sambil menangis, sementara album perkawinan
kami ia dekap dengan erat di dadanya .
“Gak ada Sayang, kan kita sudah periksa dan
hasilnya baik-baik saja bukan”
“Kenapa kita belum dikaruniai momongan
juga?” Suaranya getir.
“Mungkin Allah masih menundanya, nanti
pasti Dia akan memberikan momongan itu kepada kita, percayalah” aku mencoba
meyakinnya.
Istriku diam seribu bahasa. Namun aku masih
dapat merasakan kesediahan luar biasa yang menggelayuti perasaannya.
*****
“Masak apa hari ini?” Tanyaku sambil
melepas baju seragam yang sudah seharian aku kenakan.
“Ada ayam goreng di meja makan” jawab
istriku singkat tanpa melepas pandangan dari HP yang ia pegang.
Aku bisa mengerti lagi dengan apa yang ia
rasakan. Hari ini hampir semua infotainment Televisi memberitakan seoarang
artis yang baru melahirkan. Dan ada juga artis yang baru menikah 3 bulan yang
lalu dan sekarang telah hamil muda.
Tidak itu saja akun-akun facebook
teman-teman istriku penuh dengan kegembiraan bersama sang buah hati mereka. Ada
yang menulis memandikan buah hati dengan suami, ada yang menulis liburan
bersama buah hati dengan kakek neneknya. Dan ada juga yang menulis status, beginilah
rasanya orang yang sedang mengidam. Melihat itu semua kesedihan istriku
kembali memuncak.
“Sampai kapan ya kita hidup berdua saja?”
Tanya istriku sambil berjalan menyusulku menuju meja makan.
“Sayang, yang sabar ya, mungkin belum
waktunya saja Allah memberikan anak kepada kita”
“inikan sudah lima tahun” jawab istriku
yang terdengar dengan nada sedih. “Kapan lagi kita diberi momongan, padahal
kita sudah siap segala-galanya. Rumah ada, kendaraan ada, pekerjaan tetap.
Apalagi yang ditunggu Allah”.
Aku diam, kali ini aku memilih diam. Aku
tak tega menjawab perkataan istriku lagi. Aku tau kesedihan dia. Sebagai
seorang istri mempunyai anak adalah kebahagiaan yang paling indah. Dan tidak
mempunyai anak adalah kesedihan yang paling dalam.
*****
“Gimana kabarmu, katanya kamu dipromosikan
akan naik pangkat ya?” Kata ibuku saat kami berkunjung ke rumahnya.
“Alhamdulillah bu, aku sudah diberi
kepercayaan sama kantorku. Mana Heny Bu?” Aku menanyakan adik bungsuku.
“ya biasalah, kan ini hari minggu, dia
membawa anaknya jalan-jalan bersama suaminya. Lalu kapan kamu mau punya anak
juga?” Tanya ibuku lagi.
Aku diam, begitu juga istriku. Rona
kebahagiaan yang tadi terpancar karena bersua dengan mertua tiba-tiba lenyap
berganti rona kesedihan setelah mendengar kata anak.
Tidak kali ini saja sejak dua tahun
perkawinan kami, ibu sering menanyakan anak kepadaku. Maklum aku adalah anak
pertama dan ibu belum punya cucu. Saat itu ibu sering menyarankan ini dan itu
kepada kami, dari berobat secara medis sampai berobat tradisional. Dan semua
aku coba namun semua berujung nihil.
Berbeda sekali dengan Heny adikku. Baru
menikah satu tahun ia sudah mempunyai seorang anak. Dan sekarang putrinya sudah berumur
dua tahun.
Kepulangan dari rumah ibu kali ini kembali
dengan kesedihan. Entah sudah berpakali istriku harus menangis setelah
berkunjung ke rumah ibuku. Dan dengan satu alasan yang sama, ditanya tentang
anak.
*****
Sore ini cuaca sangat cerah, hujan yang
biasanya menggenangi bumi Antasari entah telah pergi kemana. Aku duduk di ruang
tamu membaca koran yang pagi tadi belum sempat terbaca sambil memegang HP
membalas sms dari Syaiful teman lamaku. Sementara istriku mengikuti pengajian
Ust. Imran bersama ibu-ibu komplek di masjid.
“Assalamu’alaikum,…” Istriku muncul di
ambang pintu pulang dengan cemberut.
“Lho kok pulang pengajian malah cemberut?”
Aku sedikit terkejut melihat wajah istriku yang tidak seperti biasanya. Biasanya
sepulang pengajian ust. Imran dengan cerianya dia menceritakan isi pengajian
yang disampaiakan Ust. Imran, namun kali ini berbeda. Pulang-pulang malah membawa
wajah cemberut.
Tanpa menjawab istriku langsung masuk
kamar. Diam.
“Sayang, ada apa sih, ko kaya gak seneng
gitu habis dari pengajian” aku mulai mendekatinya.
“Pengajiannya sih gak ada masalah, tapi ibu-ibu
pengajiannya itu, bukannya membahas pengajian Ust. Imran malah nyindir-nyindir aku
karena belum punya anak”. Istriku menceritakan dengan wajah yang masih tak
berubah, cemberut.
Aku paham sekali dengan apa yang dia
rasakan, bagaimana ia harus menahan malu ketika para orang-orang membicarakan
tentang anak. Lagi-lagi aku hanya bisa diam ikut merasakan kesedihan hatinya.
Aku hampir lupa, aku barusan sms-an dengan
Syaiful. Dia sekarang menjadi Ustadz di pulau seberang setelah menamatkan
pendidikan agama di beberapa pesantren. Dia adalah teman kecilku sejak SD,
namun setelah lulus SMA ia memilih mengembara ke beberapa pesantren di pulau
Jawa untuk mengikuti hasratnya mendalami ilmu agama. Mungkin dia bisa
memberi solusi masalah kami, karena dia
lebih tahu tentang agama.
Handphone putihku langsung kubuka. Kucari
nama Iful dan kupencet tobol hijau di pojok kiri atas.
“Assalamu’alaikum, ada apa ni? Tumben abis
sms-an langsung nelpon” suara Syaiful langsung terdengar.
“Gak papa, aku hanya pengen menanyakan
solusi dari masalahku untuk mendapatkan anak. Bukankan kamu pernah mengatakan
kalau aku kurang usaha untuk mendapatkan anak, padahal aku kan sudah
kesana-kemari, tidak hanya dokter spesialis dan pengobatan alternatif bahkan sampai
minta do’a dengan para ulama tapi hasilnya nihil” aku langsung nyerocos untuk
menghilangkan rasa penasaranku. Aku berharap tidak salah orang untuk dimintai
solusi sebab masalah anak Syaiful sudah terbukti, sebab sekarang ia sudah punya
3 anak walau usia perkawinannya blum genap tujuh tahun.
“Gini…” Syaiful menghentikan kata-katanya
sebentar. Ia pasti sangat memahami apa yang aku rasakan. “Memang kamu sudah
usaha, tapi kebanyakan usaha kamu selalu lewat orang lain. Sekarang coba mulai usaha
dari dirimu sendiri” dengan tenang Syaiful menjelaskan.
“caranya ?” aku memotong perkataannya. Penasaran.
“Coba mulai sekarang, setiap selesei sholat
kamu berdoa minta anak. Ingat setiap selesei shalat. Gak usah sulit-sulit do’anya
cukup baca Allahummar zuqna Waladan Sholehan kalo gak bisa pake artinya
saja Ya Allah berikan aku anak yang sholeh. Dan setiap malam
sebelum membaca Al-quran kamu sempatkan memulai dengan membaca Surah Maryam
ayat 1 samapai 6. Coba saja, insyallah berhasil.” Dengan sabar Syaiful
menjelaskan dengan panjang lebar.
Aku baru sadar selama ini memang aku jarang
sekali berdo’a meminta anak kepada Allah.
Setelah selesei shalat Magrib aku tidak
menyia-nyiakan kesempatan apa yang dianjurkan oleh syaiful dan langsung aku
peraktekkan. Istriku juga mengikuti sesuai yang aku ajarkan kepadanya.
*****
Hari berganti minggu, minggu berganti bulan.
Sudah empat bulan aku menjalankan saran dari Syaiful namun belum ada
tanda-tanda keberhasilan yang kami peroleh. Aku tidak patah semangat, sebab
kami yakin apabila kita yakini Allah akan mengabulkan.
“Sayang, kok belum ada tanda-tanda ya?”
istrku yang mulai ragu dengan amalan baru yang kami kerjakan.
“Sayang, kita jangan menyerah ya, kita harus
yakin, apabila Allah menghendaki pasti kita diberi momongan.” Entah sudah yang
ke-berapa kali aku menenangkan istriku. “Udah baca kan terjemahan surah Maryam
ayat 1 sampai 6, Nabi Zakariya saja menunggu puluhan tahun untuk dapat anak,
masa kita yang baru lima tahun sudah putus asa”. Aku meyakinkan istriku lagi.
Istriku hanya diam. Tanpa kata.
*****
“Sayang, sayang…” aku mendengar suara
istriku berteriak dari dalam kamar mandi.
Tanpa berpikir panjang aku langsung
melompat bangun. Kulirik jam dinding di sebelah kanan, masih jam 4 pagi. Mataku
saja masih berat sekali.
“Ada apa sayang?” Aku langsung berlari ke
kamar mandi. Aku tidak ingin ada apa-apa dengan istriku. Namun aku terkejut
setelah sampai di depan kamar mandi. Istriku malah senyum-senyum.
“Sayang, kok tadi berteriak-teriak,
sekarang malah senyum-senyum sendiri?” aku bingung melihat tingkah istriku yang
senyum senyum sendiri padahal 15 detik yang lalu dia berteriak-teriak sampai
membangunkan tidurku.
“Alhamdulillah, Allah mengabulkan do’a
kita. Aku positif hamil” istriku menujukkan sebuah tespek di tangan kanannya.
Ada dua garis merah pertanda positf hamil.
Segera kupeluk istriku. Kami bahagia.
Sangat bahagia. Setelah menunggau lebih lima tahun akhirnya kami dikaruniai momongan. Di dalam hati aku
mengakui bahwa kekuatan do’a Benar benar hebat.
*****
Anjir pasar, April 2013. Untuk Putera Pertamaku
“Syamil Ahmad Al-Hariry” yang telah lahir ke dunia.
Posting Komentar