0


NAMAKU LAILATUL QADAR
Oleh: Hadi Purwanto
“Qadaaar,….” Suara pak Mahmud menggelegar di pagi buta. Ia keluar rumah dengan terburu-buru mencari sesosok tubuh yang sudah lari dengan kencang. Ingin sekali Pak Mahmud lari mengejar tapi ia yakin tak dapat menandingi laju langkah sesosok itu.
Para tetangga yang masih tidur sehabis sahur dan shalat subuh pun terbangun mendengar suara nyaring pak Mahmud. Beberapa tetangga mendekatinya.
“Ada apa pak?” suara Pak Imron dan Bu Jamilah berbarengan. Sementara beberapa tetangga lainnya hanya memandang-mandang sekeliling mencoba mencari tau sebab musabab sehingga Pak Mahmud berteriak keras yang membangunkan mereka.
“Itu, mangga ku…” Pak Mahmud menunjuk dua kantong plastik yang digunakan membungkus mangga di pekarangannya tampak jebol. Padahal sudah beberapa hari ini ia ingin sekali memakan mangga yang sudah tampak matang sehingga ia bungkus dengan kantong plastik supaya tidak busuk.
“Ulah Qadar pak?” Tanya pak Rahmat yang sedari tadi diam. Pak Mahmud hanya bisa mengangguk.
“Kita laporkan ke Polisi saja Pak” Bu Maimunah member usul, namun pak Mahmud hanya menggelang.

“Tidak perlu, Cuma dua biji mangga saja kok” jawabnya tanpa semangat, padahal beberapa hari yang lalu keluarga Pak Mahmud sudah berencana memakan buah mangga ketika berbuka puasa namun harapannya sekeluarga sekarang pun menjadi sia-sia karena mangga mereka yang masak sudah diambil oleh Qadar. Untuk memakan mangga yang lain Pak Mahmud dan keluarga harus rela menunggu beberapa hari lagi supaya buah mangga yang lain masak, dan tentunya jikalau tidak dicuri lagi.
*****
Namanya Lailatul Qadar dan kerap disapa Qadar. Ia sangat marah apabila ada yang memanggilnya Atul sebab dikampunya ada 4 orang yang dipanggil dengan sebutan Atul dan semunya adalah perempuan.
Namun ada saja teman-temannya yang memanggilnya Atul, tak ayal lagi perkelahian pun terjadi dan pemenangnya sudah dapat dipastikan adalah Qadar. Karena sejak kecil ia diberi fisik di atas rata-rata. Perkara berkelahi ia jagonya, lari pun tidak ada yang bisa menandingi kecepatnnya.
Sebenarnya ia bukan lah anak kecil. Qadar adalah pria berusia 26 tahun dan sekarang tinggal bersama bibinya tak jauh dari masjid Al Muntamah yang ada di kampung ini. Tapi walau usianya sudah dewasa kelakuannya tak lebih dari anak-anak kecil yang nakal di kampung. Ia suka mengganggu orang lain baik anak kecil sampai orang dewasa tak luput dari sifat jahilnya. Beberapa buah tanaman warga pun tak lepas dari keusilannya. Dan setiap hari ada saja onar yang ia perbuat.
Kelakuan buruknya ini bermula ketika kedua orang tua serta dua adiknya tewas mengalami kecelakan saat ia berusia lima tahun. Sedangkan ia beruntung sebab ketika itu ia tidak ikut dalam rombongan karna ia lebih memilih mengaji ketimbang ikut ke acara hajatan keluarga di kampung sebelah.
Sejak saat itu ia diasuh bibinya yang bekerja sebagai karyawan di pabrik tebu. Karena kesibukan bibinya Qadar tidak terurus dan kelakuannya pun berubah drastis dari anak baik menjadi anak yang sulit sekali diatur. Kelakuan ini tidak berubah sampai ia beranjak dewasa. Beberapa orang pun sering menanyakan apa ia tidak malu dengan mendiang ayah dan kakeknya yang seorang Kiai, namun ia hanya menjawab akan insaf kalau nanti bertemu dengan malam “Lailatul Qadar” yang sesuai dengan namanya Lailatul Qadar.
Kenakalan Qadar tidak hanya terkenal di  kampungnya saja, bahkan orang-orang kampung sebelah pun banyak yang mengetahuinya. Sampai-sampai pada suatu ketika seorang anggota polisi mendatangi kepala desa untuk menindak lanjuti kelakuan Qadar yang cukup meresahkan.
“Bagaimana pak Kepala Desa, apakah perlu kita beri pelajaran si Qadar itu?” Tanya seoarang polisi yang baru ditugaskan di Polsek setempat.
“Maksud Bapak?” Tanya Kepala desa ingin memastikan.
“Begini, kami sudah mendengar perihal kelakuan buruk Pemuda yang bernama Lailatul Qadar. Bagaimana kalau kita tangkap dan kita penjara siapa tau dia jera dan insaf”. Polisi berkumis tebal itu menjelaskan namun Kepala desa hanya menggeleng.
“Tidak perlu pak. Qadar hanya mengambil beberapa biji buah saja tidak banyak.”
“Nah itu bisa kena pasal pencurian pak, biar Cuma mencuri satu biji mangga kita bisa memenjarakan dia.” Polisi itu kembali menjelaskan.
“Sebenarnya Qadar bukanlah anak yang nakal, hanya belum waktunya saja. Saya yakin suatu saat ia akan sadar. Dan juga Qadar bukanlah dari keturunan orang sembarangan. Kakeknya adalah orang yang pertama menghidupkan kembali Islam di kampong ini dan beliaulah yang telah membangun masjid Al-Muntamah ini. Dan ayah Qadar adalah penerus yang luar biasa, dengan kecerdasannya ia mampu membangun sekolah agama di kampung ini. Kalau kamu ingin tau almarhum ayah Qadar juga dulunya seperti Qadar saat ini” Kepala desa menjelaskan panjang lebar.
“Maksudnya Bapak?” Pak polisi memotong penjelasan Kepala Desa karena penasaran.
“Ayah Qadar yang menjadi ulama besar sebetulnya waktu muda juga mempunyai kelakuan nakal seperti Qadar, namun ia akhirnya insaf dan menjadi ulama ketika ia mendapati malam  Lailatul Qadar. Dan saya yakin suatu saat Qadar juga akan insaf dan menjadi orang besar.”
Pak polisi hanya mengangguk-angguk mendengar penjelasan kepala desa. Sekarang ia sudah tau kenapa kenakalan Qadar tidak pernah sampai ke meja hukum, sebab semua warga menghormati jasa para orang tua Qadar dan mereka yakin suatu ketika Qadar akan insaf walaupun entah kapan. 
*****
“Qadar kapan kamu mau insaf?”  Tanya Rahmat teman sepermaianan Qadar ketika mereka nongkrong di pos kamling.
“Nanti”. Jawab Qadar enteng.
“Nanti kapan?” Rahmat kembali bertanya. Rahmat sebenarnya dahulu mempunyai kelakuan yang tak jauh beda dengan Qadar. Kelakuan Rahmat lambat laun akhirnya berubah baik setelah beranjak dewasa dan menikah. Berbeda sama sekali dengan Qadar sampai sekarang ia tidak juga menunjukkan tanda-tanda bakal ada perubahan.
“Nantilah kalau aku sudah ketemu malam lailatul Qadar, seperti ayahku yang pernah bertemu malam lailatul qadar.” Sembari berjalan meninggalkan teman-temannya yang masih asyik nongkrong sambil menunggu berbuka puasa.
Teman-teman sepermaianan Qadar mulai cemas melihat kelakuan Qadar yang sampai saat ini tidak bberubah. Akhirnya beberapa teman Qadar membuat suatu kesepakatan untuk menyadarkan Qadar.
“Apa? menyadarkan Qadar, bagaimana caranya?” Anton bingung mendengar rencana Rahmat dan Agung.
“Qadar kan yakin akan bertemu malam Lailatul Qadar dan ia akan insaf. Bagaimana kalau pada malam ke-27 nanti kita buat malam seperti malam Lailatul qadar.” Jawab Rahmat bersemangat, Anton masih bengong tak mengerti.
“iya, malam Lailatul qadar kan kebanyakan jatuh pada malam ganjil khususnya malam ke 27.”sambung Agung menambahi.
Semua sudah sepakat malam ke-27 nanti akan mengerjai Qadar tapi niat mereka bukan menyakiti Qadar melainkan supaya Qadar menjadi insaf.
******
Qadar keluar dari masjid sementara shalat taraweh masih berlangsung. Beberapa temannya bertanya dengan enteng dia menjawab di masjid panas dia akan melanjutkan taraweh di rumah saja. Semua teman-temannya hanya bisa geleng-geleng kepala melihat kelakuan Qadar.
Sebenarnya tujuannya bukan pulang ke rumah ia malah duduk di pagar jembatan yang tak jauh dari masjid. Sepertinya ada sesuatu yang berbeda di benak Qadar ia hanya menatap langit cerah bertabur bintang walau tak ada bulan yang menghiasi.
Sementara di dalam masjid ada beberapa pasang mata yang selalu mengawasi gerak gerik Qadar. Dalam pikiran mereka rencana yang telah disusun rapi malam ini harus berhasil.
Malam mulai larut, Qadar melirik jam di tangan kirinya. Sudah menunjukkan jam 12.05 menit. Mungkin sudah waktunya pulang ke rumah pikirnya. Dengan langkah santai ia menuju rumahnya yang terletak di ujung desa. Teman-teman Qadar pun mulai menjalankan rencana mereka.
*****
Hari ini ada yang berbeda sekali dengan Qadar, ia sekarang mengenakan baju kaos dan sarung. Sesuatu yang sangat berbeda dari sebelumnya. Sebab Qadar sangat anti sekali memakai sarung, ia pernah berkata akan memakai sarung kalau sudah insaf. Apakah hari ini Qadar sudah insaf, teman-temannya masih bengong melihat perubahan yang terjadi pada diri Qadar
“Agung, sepertinya Qadar sudah insaf tuh” Rahmat menunjuk Qadar yang berjalan ke arah mereka.
“Mungkin, tuh liat dia sekarang memakai sarung” jawab Agung.
“Tapi,….” Kata Rahmat seperti tak bisa melanjutkan  kata-katanya.
“Tapi kenapa Mat?” Agung penasaran
“Lihat tu Qadar membawa parang ke arah kita. Apa dia tau ya, kalau malam kemaren itu kita yang mengerjainya”. Rahmat bergidik kertakutan.
Qadar sudah berada beberapa meter dari tempat duduk Agung dan Rahmat sementara parang yang nampak berkilat karena baru  diasah masih ia genggam erat. Ingin sekali Agung dan Rahmat berlari menjauh takut terjadi apa-apa pada diri mereka, namun mereka tau tak ada gunanya berlari dari Qadar karena pasti ia dapat mengejarnya.
“Rahmat, Agung ikut aku yuk” kata Qadar sambil menghunuskan parang tajamnya yang membuat wajah mereka berdua pucat pasi dan mereka hanya bisa diam. “Kenapa? Yuk ikut aku.” Sambung Qadar lagi.
“Maafin kami Qadar” kata Rahmat dan Agung serempak.
“Maaf? Emang ada apa?” Qadar bingung.
“Memang malam kemaren tu kami yang mengerjai kamu, tapi kami tak bermaksud jelek kepadamu. Kami hanya ingin melihat kamu sadar saja.” jawab Rahmat dengan wajah ketakutan.
“hahaha,…sebenarnya aku tau kalian yang mengerjai malam kemarin. Aku bisa melihat kelebatan tubuh kalian, tapi aku insaf bukan karena kalian.”
“Lalu?” Tanya agung dan Rahmat serempak. Sekarang Agung dan Rahmat menjadi heran, padahal rencana mereka sangat berhasil dan mereka yakin Qadar akan insaf karena aksi mereka itu.
“Sebelum aku sampai rumah, aku bertemu Ust. Romli dari kampung sebalah di jalan dekat rumahku. Aku dimarahi dan diceramahi habis-habisan hampir setengah jam. Dan mulai malam itu aku sadar, sudah saatnya aku insaf. Aku tidak bisa menunggu malam Lailatul Qadar karena malam itu adalah malam mulia yang akan diperuntukkan untuk orang-orang mulia juga.” Kata Qadar pelan.
“Lalu kenapa kamu membawa parang?” Tanya Agung penasaran.
“Ini” Qadar menunjukkan parang tajamnya. “kan besok malam malam takbiran, aku ingin membuatkan anak-anak obor bambu untuk takbir keliling. Ayo kita cari bambu di belakang sana.” Tanpa mendengar persetujuan Agung dan Rahmat Qadar sudah berjalan menjauh.
Rahmat masih tampak pucat, sementara agung sudah mereasa lega karena Qadar membawa parang bukan untuk menghabisi mereka.
“Kok kamu bengong saja ayo kita bantu Qadar mencari bambu” ajak Agung.
“Gung kamu kenal kan sama Ust. Romli?” Agung hanya mengangguk. “beliaukan sudah meninggal dua bulan yang lalu.” Kali ini Agung juga kembali bingung. Mereka hanya bisa saling berpandang-pandangan.
*****
Barabai, 24 Juli 2013

Posting Komentar

 
Top